Melaka, 8 Februari 2025 – Dr. Sochimin, Lc., M.Si, seorang akademisi dan pakar ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Saizu Purwokerto menjadi salah satu pembicara dalam seminar internasional bertajuk Halal Tourism: Developments, Opportunities and Challenges yang diselenggarakan di Melaka, Malaysia. Seminar ini menghadirkan berbagai narasumber dari berbagai negara untuk mendiskusikan perkembangan, peluang, dan tantangan yang dihadapi oleh industri pariwisata halal di dunia.
Dalam paparannya, Dr. Sochimin menegaskan bahwa industri halal terus mengalami pertumbuhan yang signifikan, termasuk dalam sektor pariwisata. “Pariwisata halal telah menjadi fenomena baru yang semakin diperhatikan oleh berbagai negara. Wisatawan Muslim kini lebih selektif dalam memilih destinasi yang menawarkan produk dan layanan yang sesuai dengan prinsip syariah,” ungkapnya di hadapan peserta seminar.
Perkembangan Pariwisata Halal: Tren Global yang Kian Berkembang
Dr. Sochimin menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian Samori et al. (2016), wisatawan Muslim semakin mempertimbangkan aspek kehalalan dalam memilih destinasi wisata, mulai dari makanan, akomodasi, hingga fasilitas ibadah. Bahkan, diprediksi bahwa jumlah wisatawan Muslim akan meningkat sebesar 30 persen pada tahun 2020, dengan nilai pengeluaran yang mencapai 200 miliar USD.
Pariwisata sebagai Sumber Pertumbuhan Ekonomi
Dalam sesi presentasinya, Dr. Sochimin menguraikan peran penting sektor pariwisata dalam perekonomian global. “Sebagai salah satu kontributor utama bagi pertumbuhan lapangan kerja dan Produk Domestik Bruto (PDB), pengembangan sektor ini memiliki dampak luas bagi berbagai negara. Seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan Muslim, banyak negara mulai melihat peluang besar dalam industri pariwisata halal,” jelasnya.
Namun, peningkatan ini juga menghadirkan tantangan tersendiri. Dr. Sochimin menyoroti bahwa negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia, perlu terus mengembangkan ekosistem pariwisata halal yang lebih terstruktur, mulai dari infrastruktur hingga regulasi.
Definisi dan Konsep Pariwisata Halal
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Sochimin juga membahas definisi dan konsep pariwisata halal. Ia menjelaskan bahwa secara etimologis, kata halal berasal dari bahasa Arab halla, yahillu, hillan, wahalalan, yang berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan menurut hukum Islam (Al-Qardhawi, 1994). Pariwisata halal dan pariwisata Islam memiliki definisi yang hampir serupa, yaitu kegiatan wisata yang sesuai dengan ajaran Islam.
Namun, menurut Khan dan Callanon (2017), penggunaan istilah ini bervariasi di berbagai negara. “Malaysia menggunakan istilah Islamic Tourism Center sebagai badan penasihat bagi Kementerian Pariwisata. Turki menggunakan istilah Halal Holiday, sementara Indonesia mengusung konsep pariwisata syariah,” papar Dr. Sochimin.
Upaya Indonesia dalam Mengembangkan Pariwisata Halal
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, Indonesia telah mengambil berbagai langkah dalam mengembangkan sektor pariwisata halal. “Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010), sekitar 87,18% dari total populasi Indonesia beragama Islam. Ini merupakan potensi besar bagi pengembangan wisata halal,” ujar Dr. Sochimin.
Beberapa langkah yang telah diambil Indonesia antara lain:
- Meningkatkan jumlah hotel syariah, di mana pada tahun 2013 terdapat 37 hotel bersertifikasi halal dan 150 hotel menuju operasi syariah.
- Meningkatkan jumlah restoran halal, dengan 2.916 restoran dan 303 di antaranya telah bersertifikat halal.
- Mempersiapkan 13 provinsi sebagai destinasi wisata halal, seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, NTB, dan Bali.
“Selain itu, Indonesia juga menerapkan sertifikasi halal yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sehingga wisatawan Muslim tidak perlu khawatir mengenai kehalalan makanan dan minuman di Indonesia,” tambahnya.
Malaysia sebagai Destinasi Utama Wisatawan Muslim
Dr. Sochimin juga membahas kesuksesan Malaysia sebagai salah satu destinasi wisata halal terbesar di dunia (Hamzah, 2004). “Kebijakan yang mendukung pariwisata halal serta meningkatnya peraturan ketat di negara-negara Barat membuat wisatawan Muslim beralih ke negara-negara Timur, termasuk Malaysia,” jelasnya.
Di Jepang, konsep omotenashi atau pelayanan terbaik bagi tamu mulai diperluas dengan menyediakan fasilitas halal. “Keberhasilan Jepang dalam pariwisata halal dibuktikan dengan penghargaan sebagai World Best Non-OIC Emerging Halal Destination pada ajang World Halal Tourism Awards tahun 2016,” ungkap Dr. Sochimin.
Pariwisata Halal dalam Perspektif Islam
Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang mendorong umat Islam untuk melakukan perjalanan, seperti dalam surat Ali Imran: 137, Al-An’am: 11, Al-Nahl: 36, Al-Naml: 69, dan beberapa ayat lainnya. Dr. Sochimin menjelaskan bahwa perjalanan dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk rekreasi, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran dan refleksi spiritual.
Ia kemudian menguraikan prinsip-prinsip utama dalam pariwisata halal, antara lain:
- Penyediaan makanan halal
- Tidak menyajikan minuman beralkohol
- Tidak menyediakan produk berbahan babi
- Tidak memiliki tempat hiburan malam
- Layanan berbasis gender (staff laki-laki untuk tamu laki-laki dan sebaliknya)
- Fasilitas ibadah yang layak
- Pakaian kerja yang sesuai dengan syariat Islam
- Tersedianya Al-Qur’an dan perlengkapan shalat di kamar hotel
- Arah kiblat yang jelas
- Seni dan dekorasi yang tidak menggambarkan makhluk hidup
- Pengelolaan keuangan berbasis syariah
Tantangan dalam Mengembangkan Pariwisata Halal
Dalam sesi tanya jawab, Dr. Sochimin menekankan bahwa meskipun memiliki prospek cerah, pengembangan pariwisata halal juga menghadapi tantangan, terutama dalam aspek pemasaran. “Menyesuaikan layanan agar tetap ramah bagi wisatawan non-Muslim tanpa melanggar prinsip halal menjadi salah satu isu yang harus diperhatikan,” katanya.
Sebagai penutup, Dr. Sochimin menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan akademisi dalam mengoptimalkan potensi pariwisata halal. “Dengan strategi yang tepat, sektor ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” pungkasnya.